Tuesday 29 March 2011

Lampu Merah

Tiang pancang dengan tiga lampu berwana merah, kuning, dan hijau. Biasanya berdiri kokoh di tengah jalan, mengatur kendaraan yang lalu lalang. Saat hijau, semua pengendara tersenyum riang karena rasa-rasanya akan lebih cepat sampai tujuan. Tapi saat merah? Siapa yang senang?


Jawabannya...


Mega...


Saat bersama Senja...

Ya, mereka berdua sangat suka lampu merah. Bagi mereka, lampu merah tidaklah menjemukan, justru saat lampu merahlah mereka mendapat kesempatan untuk berdekat-dekatan. Tak jarang, Senja melambatkan laju motornya jika melihat lampu lalu-lintas dari kejauhan, sengaja, agar momen lampu merah berhasil didapatkan. Tak jarang pula, Mega dan Senja akan memaki bersama apabila lampu merah telah berakhir saat mereka tiba."Sial, bukan lampu merah!" seru mereka, kompak, penuh cinta.

Dasar anak muda, mungkin tak banyak yang tahu mengapa mereka sangat suka lampu merah? Tapi aku tahu, sangat tahu mengapa. 

Mega dan Senja selalu pergi bersama, baik untuk pergi ke sekolah atau untuk pergi ke tempat lainnya. Mereka pergi mengendarai motor. Senja di depan dan Mega duduk manis di belakang. Selama perjalanan, tentu mereka tak punya banyak kesempatan untuk saling memandang. Yaa..jangankan memandang, untuk berbicara banyak pun susah, paling-paling hanya sesekali menggenggam tangan lalu cepat-cepat melepaskan, takut Senja hilang keseimbangan. Enam kilometer menahan rindu, mungkin tak jauh, tapi Hei! bagi remaja yang kasmaran, jarak itu tak sebentar.

Makanya, ketika akhirnya mereka menemukan lampu merah di tengah jalan, mereka akan memekik dengan riang.

Lampu...Merah.

Senja menurunkan kaki, menyanggah berat motor, berat badannya, dan tentu berat Mega. Lalu ia menaikkan kaca helm, menoleh ke belakang, dan menyapu Mega dengan mata berbinar. Kemudian ia menggenggam erat tangan Mega dan berkat,a "Sayang," Mega hanyat menyahut "Apa?" dengan gaya angkuh, dingin, tapi tanpa sengaja, hormon cinta akan memaksa mukanya berubah menjadi merah. Senja tak marah dengan reaksi itu, sebab dia tahu bahwa itu adalah gaya ketika Mega sedang manja. Jika sudah begitu, maka Senja akan menggenggam tangan Mega lebih erat,sambil mencubit pipinya Senja akan berkata lagi "Aku sayang banget deh sama kamu", Mega pun membalasnya dengan membuang muka ke arah jalan, dengan pandangan mata yang polos sambil mengguncangkan kaki dia akan berkata, "Aku juga". Tawa pun pecah di antara mereka, sambil berpegangan tangan mereka akan melanjutkan tawanya dengan menyanyi bersama, menyanyi lagu apa saja yang kebetulan melintas di benak mereka. Tak pedulilah apa kata pengendara yang lain, toh saat jatuh cinta hukum "Dunia serasa milik berdua" berlaku, kan?

Kadang pula, jika sudah lampu merah, Mega akan berubah jadi jahil. Ia cubit pinggang Senja hingga Senja merengut. Ekspresi Senja yang lucu akan membuat Mega tertawa terbahak-bahak.Senja yang kesal akan memiringkan motor lalu berkata, "Turunin nih!." Mega yang duduk menyamping jelas ketakutan dan dengan merajuk manja dia akan berteriak, "Ah, ah, jangan!." Kali ini, ganti Senja yang tertawa terbahak-bahak dan kembali menegakkan motornya. Masih dengan hati yang berdebar, Mega akan memeluk punggung Senja dari belakang dan berbisik mesra, "Aku sayang kamu." Masih dengan sisa tawa, Senja akan membalasnya dengan mengusap tangan Mega, "Aku juga," ucapnya, kemudian mencium tangan gadis itu dengan penuh cinta. Dan lagi-lagi, mereka tak peduli dengan reaksi pengendara lainnya. Kawan, dunia masih serasa milik berdua!

Minggu, bulan, dan tahun berganti. Mega tak lagi bersama Senja, mereka telah menempuh jalan masing-masing. Baik jalan untuk sendiri ataupun jalan untuk menemukan orang lain. Setelah berpisah, Mega tak lagi suka lampu merah, sedangkan Senja, aku tak tahu dia masih menyimpan kenangan itu atau tidak. Tapi yang jelas, setiap lampu merah, Mega akan merengut, cemberut, kemudian menghentakkan kakinya di dalam angkutan, lalu tak sadar, ia akan bergumam, "Ah...andai Senja masih ada"

Monday 28 March 2011

Dan Dongeng Itu...

"...Pria itu, tak bermahkota, tak berjubah, tak berkuda putih, dan bukan putra raja. Ia lebih dari itu, ia penuh wibawa, bijaksana, tapi lucu. Ia menikahiku di altar suci dengan pemberkatan Tuhan dan diiringi oleh kepak merpati putih. Dera lonceng bernyanyi dengan anggun mengiringi langkah kami, kami berdansa di tengah pesta, di tengah para tamu, seakan ingin memberi tahu "Inilah kami,raja dan ratu dunia yang baru". Selang beberapa waktu, kami dikaruniai seorang putra, tampan seperti ayahnya, ia berambut ikal dengan pipi bersemu merah yang  padat berisi, sangat persis ayahnya. Dengan hadirnya seorang putra, rumah tangga kami bertambah bahagia, tanpa konflikyang berarti, ekonomi yang mapan, serta cinta yang selalu pasang..." 

     Ah, imaji itu selalu sempurna, tanpa cacat, tanpa cela. Dalam realita, mana ada kebahagiaan seperti itu akan menghampiriku. Sosok pria seperti itu pun kurasa tak akan pernah ditemukan waktu. Awalnya, begitu anggapanku. Hingga akhirnya, waktu menemukan hari itu. Hari dimana akhirnya takdir merestui aku untuk bertemu dengan seseorang yang tak bermahkota, tak berjubah, tak berkuda putih, dan bukan putra raja. Seseorang yang lebih dari itu, seseorang yang penuh wibawa, bijaksana, tapi lucu, dan ah...ada sesuatu, dia angkuh. 

    Aku ragu, akankah dia yang membawaku ke depan altar suci, memberkati ikatan di hadapan Tuhan, lalu menyingkap cadarku, dan mengecup keningku?ah, sungguh aku ragu. Berkali-kali aku maju dan mundur di depan garis pengakuan, keraguan selalu mendekapku erat, ia tak memberikan celah pada prasangka naifku.Kadang aku mundur lalu benar-benar berhenti karena takluk oleh ragu, namun dikala diam itu aku justru menemukan sesuatu. Ya, aku menemukan kenyataan bahwa dia adalah orang yang selama ini membayang saat aku memejamkan mata, wajah itulah yang selalu samar di astral, padahal saat itu aku sama sekali belum mengenalnya. Tapi, apakah dongeng para putri berlaku di duniaku?Apakah aku benar-benar akan menemukan dia di akhir perjalananku?Kini, haruskah aku bertahan untuk tetap tinggal dalam dongengku? Atau aku, harus bangkit melawan imajiku, mengenyahkan ia dari benakku?Simpangan yang dilematis, aku hanya diam di tempat, tak berani mengambil resiko terlalu jauh untuk melangkah kemana-mana, karena ya...itu...aku ragu.