Monday 28 March 2011

Dan Dongeng Itu...

"...Pria itu, tak bermahkota, tak berjubah, tak berkuda putih, dan bukan putra raja. Ia lebih dari itu, ia penuh wibawa, bijaksana, tapi lucu. Ia menikahiku di altar suci dengan pemberkatan Tuhan dan diiringi oleh kepak merpati putih. Dera lonceng bernyanyi dengan anggun mengiringi langkah kami, kami berdansa di tengah pesta, di tengah para tamu, seakan ingin memberi tahu "Inilah kami,raja dan ratu dunia yang baru". Selang beberapa waktu, kami dikaruniai seorang putra, tampan seperti ayahnya, ia berambut ikal dengan pipi bersemu merah yang  padat berisi, sangat persis ayahnya. Dengan hadirnya seorang putra, rumah tangga kami bertambah bahagia, tanpa konflikyang berarti, ekonomi yang mapan, serta cinta yang selalu pasang..." 

     Ah, imaji itu selalu sempurna, tanpa cacat, tanpa cela. Dalam realita, mana ada kebahagiaan seperti itu akan menghampiriku. Sosok pria seperti itu pun kurasa tak akan pernah ditemukan waktu. Awalnya, begitu anggapanku. Hingga akhirnya, waktu menemukan hari itu. Hari dimana akhirnya takdir merestui aku untuk bertemu dengan seseorang yang tak bermahkota, tak berjubah, tak berkuda putih, dan bukan putra raja. Seseorang yang lebih dari itu, seseorang yang penuh wibawa, bijaksana, tapi lucu, dan ah...ada sesuatu, dia angkuh. 

    Aku ragu, akankah dia yang membawaku ke depan altar suci, memberkati ikatan di hadapan Tuhan, lalu menyingkap cadarku, dan mengecup keningku?ah, sungguh aku ragu. Berkali-kali aku maju dan mundur di depan garis pengakuan, keraguan selalu mendekapku erat, ia tak memberikan celah pada prasangka naifku.Kadang aku mundur lalu benar-benar berhenti karena takluk oleh ragu, namun dikala diam itu aku justru menemukan sesuatu. Ya, aku menemukan kenyataan bahwa dia adalah orang yang selama ini membayang saat aku memejamkan mata, wajah itulah yang selalu samar di astral, padahal saat itu aku sama sekali belum mengenalnya. Tapi, apakah dongeng para putri berlaku di duniaku?Apakah aku benar-benar akan menemukan dia di akhir perjalananku?Kini, haruskah aku bertahan untuk tetap tinggal dalam dongengku? Atau aku, harus bangkit melawan imajiku, mengenyahkan ia dari benakku?Simpangan yang dilematis, aku hanya diam di tempat, tak berani mengambil resiko terlalu jauh untuk melangkah kemana-mana, karena ya...itu...aku ragu.

0 comments:

Post a Comment